Pihak yang menentang menyebutnya sebagai bagian kebudayaan Barat, yang sama sekali tak sesuai dengan adat ketimuran.
Dari kalangan agama, khususnya Islam, muncul pula reaksi serupa. Sebagian menyebut Valentine tak pas dirayakan umat Islam, karena latar belakang historisnya yang lebih dekat ke kebudayaan Kristiani. Bahkan, orang Islam yang tidak sepakat menyebut perayaan Hari Valentine sebagai bid'ah, karena tidak ada dasar hukumnya dalam syariat Islam.
Bahkan, sebagian kalangan Kristiani pun ada yang tak sepakat dengan perayaan Valentine. Mereka menilai perayaan itu bukanlah ritus keagamaan, tapi aktivitas tradisi yang merujuk penyembahan berhala sebelum zaman Kristen. Yang jadi rujukan mereka adalah tradisi Pra-Kristen di Romawi yang memuja dua berhala: Nimrod dan Lupercalia.
Kontroversi itu masih terus terjadi, bahkan sampai sekarang. Tapi, haruskah kita terjebak pada perdebatan sesuatu yang kontoversial? "Peringatan apa pun, yang terbaik adalah menangkap esensi atau pesan dari peringatan itu sendiri. Kita agaknya lebih suka melihat sesuatu dari aspek seremonialnya tanpa menangkap esensi yang ada. Kalau itu dilakukan, sudah pasti ada perbenturan budaya yang melahirkan kontroversi yang sama sekali tak bermanfaat. Itu juga berlaku untuk Valentine," ujar Drs H Mohammad Adnan MA.
Ada dan tidaknya kontroversi, kenyataannya banyak yang sangat yakin untuk merayakannya. Bahkan, ada pula yang menganggapnya "wajib" dirayakan. "Apa salahnya merayakan kalau itu dapat lebih mengikatkan perasaan dengan pasangan kita," cetus Venny, gadis berusia 22 tahun.
Dia sendiri tak secara khusus membikin acara dengan pacarnya untuk perayaan Valentine tahun ini. "Paling pergi berdua. Tapi yang pasti, kami akan saling memberi kado. Sudah jadi tradisi kami, sih," ujarnya kenes.
Dengan alasan itu pula, gadis manis itu tak memedulikan anggapan yang menyebut dirinya hanya "ikutan-ikutan" cara anak muda Barat. "Biar saja dianggap begitu".
Konsumerisme Valentine
Yang pasti pula, di luar kontroversi, perayaan Valentine tak pelak bergerak sebagai pangsa industri yang menjanjikan. Aktivitas pemberian hadiah pada hari spesial itu sudah pasti merangsang pihak industri untuk menyediakan beragam pernik.
Apabila pergi ke supermarket atau ke toko khusus gift (pernik hadiah) menjelang 14 Februari, Anda akan menyaksikan beragam barang ditawarkan. Simbol "hati" menjadi sesuatu yang dominan pada segala benda yang terpajang.
Sebut saja gerai-gerai khusus gift di Mal Ciputra. Beragam pernik tengara Hari Valentine terpajang meriah di gerai Pipiland, Kid's Parcel, dan Hallmark. Bantal, gelas, frame, dan berbagai benda lain dikuasai gambar atau bentuk hati. Bahkan, tiap gerai secara khusus membuat parcel dalam ukuran besar atau kecil, tetap dengan simbol hati.
"Secara khusus kami memang bikin parcel khas Valentine. Bantal dan frame foto paling banyak diminati," ujar Nadia, salah seorang pramuniaga di Pipiland.
Boleh jadi, itu memberi bukti bahwa perayaan Valentine mengajak industri merangsang konsumerisme, terutama bagi kawula muda. Apa pendapat pengamat ekonomi mengenai hal itu? "Valentine kini memang bergerak menjadi gaya hidup global, gaya konsumerisme internasional. Kasih sayang yang semula menjadi maknanya, bergerak menjadi bagian dari proses industrial," ujar pengamat ekonomi dari Undip, FX Sugiyanto SE.
Valentine, dibalik semua kontroversi yang ada, segalanya kembali lagi kepada pribadi yang memaknainya. Kasih sayang yang sejati tidak hanya diukur dengan tindakan satu kali dalam suatu hari saja. Kasih yang sejati dinyatakan dengan tekun hari demi hari, penuh kesabaran dan komitmen. Dan memang cinta bukan cinta jika hanya di ucapkan, bentuk nyata cinta adalah pengorbanan dan kesetiaan. Jadi mungkin ini bisa menjadi hadiah terbaik yang bisa Anda berikan kepada pasangan Anda selain semua hadiah yang mengeruk seluruh isi kocek Anda, komitmen untuk mengasihinya dan setia hanya pada satu pasangan saja.
Sumber : Suara Merdeka/VM